Des Alwi.

Des ada di pantai hari itu, hari ketika kapal Fomalhout muncul di Zonnegat, hari ketika dua orang tuan buangan datang dari Digul dengan delapan koper kayu berukuran besar dan tiga tas kulit yang juga besar. Waktu itu Februari 1936. Des juga berada di pantai, ketika MLD Catalina mendarat dan dua orang serdadu Amerika mendayung perahu karet ke dermaga. Des ada di pantai hari itu, 31 Januari 1942, hari ketika dua orang tuan buangan yang tersohor itu harus angkat kaki meninggalkan tanah buangan. Des ada di pantai hari itu, memutuskan untuk tidak ikut terbang ke Jawa, melepaskan Sjahrir bersama tiga orang saudaranya Mimi, Lily dan Ali, menjadi jalan keluar bagi Hatta atas buku-buku yang tidak mungkin dibawanya saat itu. Des ada di Banda, pada hari ketika Hatta dan Sjahrir tiba, hingga saat keduanya dilepas dengan berair mata oleh seluruh orang kampung.

Des bukan tidak mau pergi bersama kedua oom angkatnya, ia menawarkan diri sebagai solusi atas overweight yang terjadi dan menyebut tindakan itu sebagai upaya antisipasi dibutuhkannya saksi mata bila ternyata dua tokoh tersebut dinyatakan hilang. Jauh di lubuk hatinya, Des memang tidak siap meninggalkan Banda saat itu, ia gentar ketika mendengar Sjahrir memekik “Inilah dia! Inilah saatnya. Semua orang siap-siap, kita akan segera berangkat!”, ia kebingungan saat melihat Hatta berjalan menggendong sebuah tas dan dua karton berisi buku diikuti orang-orang kampung yang bingung. Kelebihan kapasitas itu semacam sihir, semacam mukjizat bagi Des untuk lebih lama berada di Banda, meski cuma empat bulan, ia telah menjadi bagian dari mereka yang menyaksikan seteru antara Jepang dan Sekutu di Pasifik. Dengan 15 gulden di saku dan biskuit pemberian ayahnya, Des memutuskan untuk pergi ke Jawa melalui Ambon menumpang kapal layar satu tiang, membawa diri dan dua karton berisi buku milik Hatta yang terpaksa ditinggalkannya.

Des tidak lagi di pantai, Dai Ichi Tora Maru membawanya pergi ke Jawa. Des tidak lagi di Banda, keberanian membawanya untuk kembali berkumpul dengan Omm Kaca Mata dan Oom Rir. Bila sejarah peradaban adalah sejarah melampaui batas, maka Des adalah bukti dari melampaui batas itu.

Des meninggalkan pantai dan Banda, tapi ia tidak pernah benar-benar pergi, ia mencintai Banda hingga akhir hayatnya, meminta kepada anak dan cucunya untuk dimakamkan di sana setelah wafat. Des tidak menyulap diri menjadi seorang penting, ia telah menjadi penting sejak anak-anak, sejak bau pala dan kisah pelaut-pelaut luar biasa masih menjadi pelangi di langit Banda Neira. Des seorang pejuang, ikut menjadi tokoh dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Des juga seorang Dipolomat, menjadi mediator konflik Indonesia-Malaysia tahun 1963 serta menjadi salah satu tokoh dibalik bersekutunya negara-negara Asia Tenggara. Dan yang tak kalah penting dari semua itu, Des adalah pelaku budaya, seorang sineas, dramawan dan sejarawan, sebab mengapa ada kesan tersendiri selama berada di sekitar rumah Sjahrir yang juga dihuni Chairil Anwar.

Des Alwi sudah tiada, tepat 4 tahun 12 November kemarin, tapi ia tetap di pantai, tetap dijaga datu-datu, menjadi api, membakar pulau.