Jakarta dan Calon Independen

Seorang teman baik bertanya, mengapa Jakarta? pertanyaan klasik yang dilontarkan oleh sesama orang “daerah” bila ada yang memutuskan meninggalkan daerahnya untuk bekerja di Jakarta. saya ragu menjawab pertanyaan tersebut, namun pelan-pelan saya menjawab “Sederhana !! Jakarta adalah harapan. Jakarta adalah pintu menuju pintu yang lain, termasuk jalan pulang dengan hasil yang lebih baik”

Sebegitu berharapkah orang-orang memandang Jakarta? jawabannya tentu saja relatif, ya atau tidak tergantung relasi yang diciptakan setiap orang atas hidupnya dengan sebuah kota bernama jakarta. jawaban saya atas pertanyaan teman saya tersebut tentu tidaklah berlebihan walaupun keragu-raguan saya lebih didasarkan pada tidak setujunya saya dengan model pembangunan yang melahirkan kota besar semacam Jakarta dimana biayanya diperoleh dari hasil keruk mengkeruk daerah-daerah yang kemudian masih terus terlantar dan tertinggal,

Bagi saya, Jakarta adalah barometer pertumbuhan ekonomi dan politik Indonesia dimana tampuk kekuasaan diletakan dan segala kebijakan untuk mengatur negara diputuskan. Bagi saya, Jakarta adalah pusatnya perkembangan intelektualitas dengan segala sarana penunjang dan iklim intelektualitas yang variatif. Bagi saya, Jakarta adalah lapangan pekerjaan bagi mereka yang tidak ingin terjerat dibalik label pegawai negeri sipil karena kreatifitas mendapat tempat karena dapat disebut sebagai pekerjaan, tidak seperti yang terjadi di daerah (sebutlah di daerah asal saya misalnya) dan bagi saya, Jakarta adalah bukti konkrit bahwa negara ini telah membangun dan sedusta-dustanya konsep pembangunan yang dilakukan di negera ini, Jakartalah hasil pembangunan tersebut.

Saya menaruh harapan pada Jakarta, sebagaimana orang tua dan sanak keluarga menaruh harapan kepada saya. saya menaruh harapan pada Jakarta, sebagaimana teman kecil saya yang terkenal senang berdebat tersebut sama sekali tidak membantah jawaban saya. Dia percaya saya telah berpikir dan memilih pindah dari Ambon ke Jakarta, kota yang selama ini kami teropong dan kami kutuk bersama karena saya melihat harapan saya; di Jakarta.

Continue reading